Proses tahapan pilkada Provinsi Jambi tahun ini sangat menarik dicermati. Berdasarkan 55 kursi DPRD Provinsi Jambi, membuat skema pasangan calon Gubernur berpotensi menjadi empat pasangan calon dengan asumsi 11 kursi syarat minimal pencalonan.
Dengan munculnya empat kandidat, sesungguhnya semakin baik bagi masyarakat jambi. Semakin banyak pilihan, semakin baik output demokrasinya. Terlebih lima partai besar di Jambi yakni PDI-P, GERINDRA, GOLKAR, PAN dan DEMOKRAT memiliki kader-kader mumpuni yang sudah dikenal masyarakat Jambi.
Namun yang terjadi saat ini cukup unik untuk diamati. Partai-partai besar yang sejak awal diyakini akan memajukan kader-kader terbaik mereka, justru melenceng dari perkiraan. Mereka justru memberikan dukungan terhadap figur yang bukan kader partai.
Bahkan partai besar seperti Gerindra justru tidak mengusung kader murninya sama sekali. Padahal partai ini memiliki sederetan tokoh ternama yang layak untuk diusung.
Pragmatisme politik dan bobroknya demokrasi sedang dipertontonkan oleh partai-partai politik kita yang notabenenya sebagai pilar demokrasi yang memiliki tugas melaksanakan politik demokratis terhadap masyarakat.
Proses pendidikan politik, kaderisasi, dan kandidasi yang menjadi sorotan dan barometer publik untuk mengukur sistem dan kinerja partai yang baik justru fulgar tercederai. Betapa tidak, proses kaderisasi dan kandidasi justru telah terjebak dalam praktek politik yang berbasis kepentingan, kapital, dan jaringan kekuasaan semata.
Hampir tidak ditemukan transparansi keterlibatan publik dalam pemunculan calon kepala daerah oleh partai politik. Jika pun ada, terkesan hanya serimonial belaka saja. Pragmatisme itu vulgar terlihat ketika partai-partai mulai bermanufer bagai loket penjual karcis sirkus yang siap menerima siapa saja.
Al Haris, Fasha dan Cek Endra adalah kader kuat Partai Golkar yang sama sama ngotot bertanding, walau pasca Musyawarah Daerah (Musda) ke-XXIX Februari lalu CE berhasil merebut Ketua DPD yang secara otomatis mengantongi tiket partai berlambang beringin itu.
Sedangkan PDI-P sebagai pemenang kursi terbanyak di DPRD Provinsi Jambi justru tidak mencalonkan kadernya sebagai BH 1, meski memiliki dua kader mumpuni yang sama sama maju sebagai calon wakil gubernur, sebut saja Abdullah Sani (mendampingi Al haris) dan Safrial (yang digadang gadang akan mendampingi incumbent Fachrori umar).
Yang lebih konyol dari partai ini adalah ketika ia mempertontonkan kegamangan dalam menentukan dukungan. Awalnya publik menilai lambatnya rekom dukungan partai berlambang banteng ini mungkin karena dua kader mereka sama-sama memiliki pengaruh besar di internal partai bahkan sampai ke loyalis. Namun belakangan cukup viral di media sosial ada kader baru pindahan PAN yang cukup fenomenal, yakni Ratu Munawarah yang digadang gadang akan mendampingi CE.
Ratu munawarah sendiri sudah kerap muncul di media sosial dengan logo partai berlambang banteng dan diisukan akan diusung oleh partai ini walau belum seumur jagung bersama PDI-P.
DPP Partai ini sendiri telah mempublikasikan calon pimpinan daerah yang akan diusung dalam Pilkada 2020 ini, meski ternyata Jambi belum masuk dalam daftar itu. Ada apa dengan PDI-P di Jambi?
Pragmatisme serupa terjadi di Tubuh NASDEM. Sebagai pemilik kader Incumbent Gubernur Fachrori Umar selayaknya Partai ini sejak awal lebih getol sosialisasikan FU. Namun kabar mengejutkan lagi-lagi muncul di media: dukungan partai ini justru berlabuh ke pelukan Fasha dan AJB.
Sedangkan Demokrat yang hanya memiliki Asafri Jaya Bakri sebagai satu-satunya kader partai yang maju, sampai pertengahan Juli ini belum terdengar arah dukungan yang final.
Ada apa dengan partai politik kita? Kenapa begitu gamang?
Santer terdengar faktor kehati-hatian sebagai pembenaran. Santer pula selentingan tentang mahalnya Mahar. Kegamangan demi kegamangan yang dipertontonkan oleh partai politik kita kali ini kembali menunjukkan boroknya sistem dalam perpartaian kita.
Tidak berjalanya kaderisasi yang baik di tubuh partai cukup menjadi catatan bagi para Kader, para aktivis dan para profesional yang ingin mengabdikan diri dalam politik melalui jalur partai. Tokoh-tokoh terbaik Jambi ini seperti tersandera oleh sistem serta mahalnya biaya demokrasi. Sementara Partai tak lebih hanya sekedar penjual tiket.
Siapa yang mampu menjamin mesin partai akan bekerja maksimal dan kompak ketika ada lebih dari dua kader yang memiliki loyalis di tubuh partai. Sebut saja misalnya Abdullah Sani dan Safrial yang adalah kader PDI-P berpengaruh dan sama-sama memiliki basis masa di tubuh partai, tetapi Partainya sendiri secara organisasi mendukung pasangan lain, misalnya CE dan Ratu.
Atau siapa yang menjamin mesin politik PAN mampu berputar tanpa digerogoti loyalis Trah Zulkifli yang diwakili oleh Ratu.
Juga tiga tokoh Golkar (AL Haris, Fasha dan Cek Endra) yang sama-sama memiliki basis loyalis di tubuh partai akan membagi kekuatan mesin partai secara tidak langsung.
Juga siapa yang menjamin mesin Nasdem tidak terganggu oleh figur Incumbent yang merupakan tokoh besar partai itu.
Dalam diskusi anak-anak muda, sinyal ketidak percayaan generasi muda terhadap parpol sangatlah tinggi. Edward Aspinall & Barrentschot (2019) dalam bukunya “Democracy for sale” yang merupakan kritik bagi pragmatisme partai kontras terlihat dalam proses kandidasi dalam PILGUB kita kali ini.
Harapan besar kita adalah semoga masyarakat mampu melihat dan memilih yang terbaik demi Jambi yang lebih Mantap, dengan menguliti kandidat jauh lebih dalam dari sekedar profil partai-partai pengusung