Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Undang-Undang Cipta Kerja merupakan undang-undang di Indonesia yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 dan diundangkan pada tanggal 2 November 2020 dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah.
UU Cipta Kerja disebut juga dengan UU Omnibus Law. Dari berbagai kalangan UU Cipta Kerja mendapatkan banyak kritik dan penolakan kehadirannya karena dikhawatirkan akan merugikan hak-hak pekerja dan meningkatkan deforestasi di Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan.
Dalam isu lingkungan hidup, penulis berpendapat bahwa sisi ini merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji mengenai perbandingan pengaturan lingkungan hidup pada Undang-Undang Cipta Kerja dengan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) agar masyarakat dapat menilai kelebihan serta kelemahan diantara kedua regulasi tersebut.
Pada tahapannya, setiap kegiatan usaha harus mendaptkan izin usaha.
Didalam UUPPLH tahapan tersebut dimulai dengan proses dokumen lingkungan (AMDAL atau UKL-UPL), lanjut ke persetujuan lingkungan, mendapatkan izin lingkungan, dan barulah mendapatkan izin usaha.
Sementara pada UU Cipta Kerja tahapannya dimulai dengan dokumen lingkungan, persetujuan lingkungan dan baru sampai pada tahap perizinan berusaha. Perbedaan diantara keduanya adalah jika UUPPLH mengenal izin lingkungan sementara UU Cipta Kerja mengenal dengan sebutan Persetujuan Lingkungan.
Pada dasar proses perizinan, UUPPLH mengenal pembedaan antara kegiatan usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan dan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja mengenai istilah kegiatan usaha yang mempunyai Risiko Tinggi, Risiko Menengah, dan Risiko Rendah pada dasar pross perizinannya.
Proses penilaian AMDAL pada UUPPLH dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal (KPA) yang dibentuk oleh Menteri, Gubernur,atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya, sedangkan pada UU Cipta Kerja dilakukan oleh Lembaga Uji Kelayakan (LUK) yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat.
Anggota penilai AMDAL pada UUPPLH dilaksanakan oleh instansi lingkungan hidup dan teknis terkait, pakar bidang lingkungan dan pakar sesuai jenis kegiatan usaha serta oleh organisasi lingkungan hidup, sedangkan pada UU Cipta Kerja Lembaga Uji Kelayakan (LUK) menunjuk tim uji kelayakan yang terdiri dari unsur pemerintah pusan dan daerah, pakar bersertifikat yang kompeten di bidangnya dan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap kegiatan usaha.
Dari segi unsur masyarakat yang dilibatkan dalam penilaian AMDAL pada UUPPLH melibatkan masyarakat yang terkena dampak kegiatan usaha, pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Sedangkan pada UU Cipta Kerja hanya terbuka peluang kepada masyarakat yang langsung terkena dampak dari kegiatan usaha.
Jika terjadi pelanggaraan lingkungan, pada UUPPLH konsekuensinya berdampak terhadap izin lingkungan , sedangkan pada UU Cipta Kerja apabila terjadi pelanggaran lingungan, konsekuensinya berdampak terhadap perizinan berusaha.
Dilihat dari perbedaan-perbedaan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan diadakannya pengaturan mengenai isu lingkungan hidup pada UU Cipta Kerja adalah untuk mempercepat perizinan bagi para pelaku usaha.
Namun penulis berpendapat pemerintah melalui kebijakannya juga harus memperhatikan terhadap aspek lingkungan hidup, jangan sampai masyarakat terkesan menilai pemerintah bahwa diadakannya UU Cipta Kerja ini hanya sebatas untuk mendukung para pengusaha dan tidak pro kepada masyarakat maupun lingkungan.
Penulis: Uswatun Hasanah
Mahasiswi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi