Indonesia merupakan negara mayoritas Islam di dunia, juga memiliki beragam suku, agama maupun budaya. Tentu, akan mempengaruhi perbedaan cara pandang ataupun aktivitas sosial. Oleh karenanya, kita perlu suatu fondasi yang menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, yang disemboyankan “Walaupun Berbeda-Beda Tetap Satu Jua”. Tercetusnya “Pancasila” pada intinya memiliki subtansi sama dengan semboyan tersebut. Pancasila bukan sekedar simbolisasi ataupun formalisasi penghargaan para pendiri bangsa, juga sebagai dasar negara serta tatanan moral maupun pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pencetusan sila pada setiap sila dalam Pancasila telah melalui proses revisi dan disepakati, ada satu sila yang menjadi diskursus para pencetus “Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”, setelah melalui proses diskursus sila tersebut berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena sifatnya eksklusif bagi pemeluk islam bukan semua agama. Lalu apakah Pancasila ideal untuk sebuah Negara Indonesia? Tentu, berkenaan interpretasi sila pancasila sebagai jalan tengah (moderasi) di setiap perbedaan agama, suku, sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Jika sila pertama tetap menjalankan syari’at islam. Menurut Gus Dur, itu sebagai wujud meng-Islamkan dasar negara dan mensyariatkan peraturan daerah tetapi juga melupakan sejarah (a-historis), juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Mengutip hakim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya syari’atisasi semacam itu menurut ilmu fiqih termasuk dalam melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan. Gus Dur juga menolak pemikiran formalisasi, ideologisasi dan syari’atisasi sebagai dasar negara maupun mendorong negara Islam yang diusung kaum islam fundamentalis. Sikapnya ini memandang bahwa Islam sebagai jalan hidup (sya’riat) tidak memiliki konsep yang jelas terhadap negara. Gus Dur mengklaim, islam memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana negara dibuat dan dipertahankan. Pertama, bahwa Islam tidak memiliki pandangan pergantian pemimpin yang jelas. Itu terbukti ketika Nabi Muhammad wafat digantikan oleh Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah dilakukan melalui bai’at oleh para kepala suku dan wakil-wakil kelompok umat yang ada pada waktu itu. Demikian juga Abu Bakar menjelang wafat digantikan Umar Bin Khattab, selanjutnya pemilihan Usman bin Affan melalui dewan ahli yang terdiri 7 orang. Ini berarti, pergantian kepemimpinan melalui penunjukkan dan tidak ada konsep yang jelas. Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintah kaum Muslimin. Misalnya, negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negara-bangsa (nation-state) ataukah hanya negara-kota (city-state).
Paradigma pemikiran politik Islam Gus Dur dalam buku “ISLAMKU ISLAM ANDA ISLAM KITA”, Gus Dur justru memperkuat subtansi nilai-nilai Islam yang mengakar dan mengkultur dan holistik bukan sekedar pemahaman tekstualis, formalisasi ataupun eksklusifitas. Adapun ciri-ciri pemikiran memperkuat subtansi islam yang ditonjolkan Gusdur ada empat.
Pertama, adanya kepercayaan tinggi bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral bagi kehidupan manusia. Tak ada satu pun dari ayat Al -Qur’an yang menekankan ummat Islam harus mendirikan negara Islam, Al-Qur’an hanya memuat kandungan etik dan panduan moral untuk memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain.
Kedua, misi utama Nabi Muhammad bukanlah membangun kerajaan atau negara. Tetapi mendakwahkan nilai-nilai Islam dan kebajikan. Mengutip pernyataan pemikir Mesir Husain Fawzi al-Njjar, fokus utama Nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersatukan para pemeluk Islam daripada membangun sebuah negara atau sistem pemerintahan. Kenyaataannya terbukti bahwa sesudah Nabi Muhammad wafat, diperlukan beberapa waktu untuk melakukan musyawarah dan memutuskan siapa penggantinya.
Ketiga, syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara, sebab islam semata-mata sebagai agama bukan sebuah sistem yang berkaitan dengan tata tertib negara, syari’at seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara, tetapi diletakkan dalam kerangka keimanan Islam.
Keempat, dalam bidang politik melakukan upaya signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi subtansi dari nilai-nilai islam. Ini sejalan dalam konteks Pancasila dan Indonesia dengan pemikiran politik Islam Gus Dur yang memuat subtansi nilai-nilai Islam bagian dalam sila-sila Pancasila. Bukan hanya bersifat legal-eksklusif (islam bukan hanya agama dan bagian aspek sistem pemerintahan). Satu pernyataan Gus Dur “Islam Menghindari Perpecahan Bukan Perbedaan” subtansi nilai-nilai islam inilah sebagai jalan pedoman manusia dalam menjalani kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
*Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Pertanian Komisariat Universitas Jambi