Puluhan aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jambi lakukan aksi tolak pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja di depan Kantor DPRD Provinsi Jambi, Kamis (8/10).
Aksi yang berjalan dengan kondusif ini berhasil menyampaikan pendapat dan naskah kajian GMNI disambut serta ditandangani Oleh Ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto bersama Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi, Rocky Candra.
Dalam rilis yang diterima Meidiawan.id, Ketua DPC GMNI Jambi, Eldaniel mengatakan sikap penolakan ini telah melalui proses pengkajian internal dan didukung oleh Instruksi aksi serentak DPP GMNI kepada cabang se-Indonesia.
“Adapun yang menjadi latar belakang, aturan tersebut terkesan eksploitatif terhadap barisan rakyat. Omnibus law sebagai pembentukan undang-undang baru, terkhusus dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja dirancang untuk memberikan kemudahan bagi investor agar semakin tertarik ke Indonesia mengebiri kesempatan bekerja rakyat kecil,” kata Eldaniel.
Seperti diketahui beberapa hari lalu, DPR RI secara resmi mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang menjadi polemik ditengah masyarakat. Dalam orasi nya, Sekretaris GMNI Jambi, Reinhadt P. Antonio menambahkan beberapa pasal terkesan kontradiktif bagi kepentingan rakyat.
“Situasi sekarang banyak masyarakat yang pontang-panting bertahan hidup, banyak petani yang bersusah payah mencangkul, ini DPR setiap hari kena ruangan AC kok masih menciptakan pasal-pasal yang kontradiktif bagi rakyat ini pukulan,” jelas Reinhadt.

Atas hal itu, GMNI Jambi menyampaikan sikap sebagai berikut ;
1. Muatan pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja sangat bernuansa eksploitatif di seluruh sektor ekonomi. Terutama sektor pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan kelautan serta ketenagakerjaan. Seolah-olah ada ambisi besar memperoleh puja-puji asing dengan predikat negara maju yang sesungguhnya tidak menyasar pada kenyataan sosial di akar rumput. Melambungnya nama Indonesia di kancah Internasional ibarat
jebakan asing demi melenakan bangsa ini agar mudah terhanyut dalam pusaran
ketergantungan yang kian dalam terhadap skema ekonomi kapitalistik dan fundamentalisme pasar. Hal ini pun jauh panggang dari api bila dikaitkan dengan spirit ekonomi Pancasila yang seharusnya menjadi pegangan pemerintah dalam membingkai kebijakan dan perancangan undang-undang baru. Salah satu poin Trisakti Pancasila adalah berdiri di atas
kaki sendiri (berdikari) dalam bidang ekonomi.
2. Ruang impor komoditas dan produk tani dibuka lebar-lebar. Kami menyayangkan
usulan revisi pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani disebutkan bahwa Pemerintah “tak lagi berkewajiban” mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kami benar-benar menyayangkan saat mengetahui revisi pasal ini didasarkan
pada usulan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang jelas-jelas membawa agenda pasar bebas dan mengabaikan perlindungan petani.
3. Di sektor perkebunan, modal asing diberikan ruang lebar-lebar untuk masuk, dengan alasan lebih bermanfaat. Hal ini tertulis jelas dalam usulan revisi pasal 95 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dimana besaran penanaman modal asing (ayat 3), batasan penanaman modal asing berdasarkan jenis tanaman perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu (ayat 4) dihapuskan. Kami sangat menyayangkan salah satu alasan pasal ini diusulkan karena perkebunan rakyat dianggap kurang bermanfaat oleh pemerintah.
4. Ruang impor komoditas dan produk perikanan dan pergaraman dibuka lebar-lebar. Seperti tertulis dalam usulan revisi pasal 37, pasal 38 dan pasal 74 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dimana frasa pelarangan dan sanksi administratif bagi orang yang melakukan impor dihapuskan. Kami menyayangkan alasan pemerintah bahwa revisi ini diperlukan mempermudah ketersediaan bahan baku impor yang ditetapkan sektor
industri. Padahal sebagai negara maritim, seharusnya Indonesia bisa mencapai swasembada komoditas dan produk-produk perikanan dan produk-produk lain yang “dihasilkan oleh
laut”.
5. Eksistensi hutan lindung terancam. Sebagaimana diketahui, pengusahaan pertambangan dan energi (terutama batubara, panas bumi dan hidro) seringkali berbenturan dengan eksistensi hutan lindung. Dalam usulan revisi pasal 26 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi dengan pemberian perizinan berusaha dari pemerintah. Frasa ini membuat izin pemanfaatan hutan lindung menjadi lebih fleksibel, tak lagi terbatas seperti dalam pasal sebelumnya. Kami khawatir usulan pasal ini berpotensi disalahgunakan
di kemudian hari, memberikan akses luas kepada pengusahaan pertambangan batubara, panas bumi dan hidro yang berdampak pada konflik laten agraria antara perusahaan dan masyarakat (terutama masyarakat adat) yang tinggal di sekitar hutan lindung.
6. Eksploitasi besar-besaran di sektor pertambangan. Salah satu usulan pasal yang kami soroti adalah Pasal 47 Ayat (7) dan Ayat (8) serta Pasal 83 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dimana perusahaan tambang batubara dan mineral yang terintegrasi dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian (smelter) mendapat perizinan yang tak terbatas atau bisa diperpanjang seumur tambang, dengan kata lain bisa sampai kandungan yang ditambang tersebut habis. Kami sangat menyayangkan hal ini karena lagi-lagi tak sesuai dengan prinsip ekonomi Pancasila: berkelanjutan.
7. Metode Omnibus Law bertentangan dengan metode pembentukan suatu undang-undang di Indonesia. Dalam RUU Cipta Kerja berlaku tiga hal yaitu pengubahan, Penghapusan dan penambahan muatan-muatan beberapa undang-undang. Ketiga hal tersebut masuk dalam metode perubahan suatu undang-undang. Menurut penjelasan UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019, suatu undang-undang yang dibentuk untuk mengubah muatan undang-undang lain secara konvensi kenegaraan: undang-undang dengan tema yang sama dan judul undang-undang itu tetap sama haruslah menambahkan kata “perubahan” sementara RUU Cipta Kerja
menggunakan judul “Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor… tahun…. tentang Cipta Kerja” seolah-olah undang-undang baru dengan demikian hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan pembentukan undang-undang yang berlaku di Indonesia.
8. DPC GMNI Jambi dengan tegas menolak Omnibus Law RUU Cipta Karya.
Pantauan awak media dilapangan, perjalanan aksi hingga penandatangan tuntutan dikawal oleh ratusan aparat kepolisian.